Tesla
adalah brand yang popular saat ini, bahkan dalam mesin Google nama Tesla adalah
nama yang banyak dicari diantara nama-nama lainya, tentu saja pendirinya Elon
Musk adalah nama fenomenal yang tidak kalah ramai dibahas dan ditulis. Kajian
kepemimpinan Tesla menjadi kajian yang menarik disebabkan oleh kerendahan hati
Elon Musk memberikan Prototpe mobil listrik kepada para pesainya seperti Toyota
(Yusuf,2023). Apa yang dilakukan oleh Elon Musk dan para pendiri Tesla adalah
hal baru yang sebelumnya tidak pernah dilakukan sama sekali, bagaimana tidak.
Memberikan kode rahasia membuat mobil listrik adalah kehancuran bisnis Tesla
sendiri, namun nyatanya sama sekali tidak, Tesla mampu menjadi mobil listrik
terbaik dan mampu menciptakan ekosistem mobil listrik secara massif secara
internasional. Munculnya Mobil Hunydai Merk Iconis dan Wuling tidak bisa
dilepaskan dari peran mulia dari kepeimpinan level 3 yaitu “No Box Leadership”.
Jurnal
pertama tentang No Box Leadership ditulis oleh Naqoy & Umi Rusilowati
(2023) yang menekankan bahwa kepemimpinan No
Box lebih fokus kepada
Greatness”, sementara Kepemimpinan Out of The Box fokus kepada “Efektifness”. Tokoh
kepemimpinan International seperti Covey menyebutkan bahwa era sekarang tidak
cukup sebatas efektif namun bagaimana membuat jalan mulia dengan cara-cara
mulia, hal ini dikuatkan dengan tulisan buku terbaru nya berjudul The8 Habit,
yang menjelaskan seorang pemimpin pentingnya bisa mampu mendengarkan suara
hatinya (voice) sehingga bisa memotivasi dirinya sendiri dan menginspirasi
orang lain untuk melakukan yang terbaik.
Sharma
dalam bukunya “Wisdom Leadership”
menjelaskan bahwa kepemimpinan saat ini bukan hanya bicara tentang bagaimana
hubungan manusia dengan manfaat manusia namun lebih luas lagi tentang
kepemimpinan terhadap lingkungan dan alam semesta, dalam aspek kepemimpinan
disemua arah seperti para arsitek, dokter, pembisnis dan pendidik mereka
berjuang Bersama-sama membawa kepemimpinan No
Box yaitu “Green Leadership”.
Konsep “Save World” melalui “Save Water” adalah gerakan berskala internasional
yang menyadarkan penduduk bumi bahwa bumi ini tidak hanya cukup sebatas
digunakan oleh kita sekarang ini namun mampu digunakan untuk generasi yang akan
datang.
Jauh
sebelum pandemi yang mendorong dan menggerakkan sebuah organisasi atau
perusahaan yang sukses adalah peran kepemimpinan seseorang atau beberapa orang yang
telah berhasil menjadi “panutan” bagi dirinya sendiri dan orang lain. Hal ini
telah dibuktikan oleh tokoh-tokoh yang menginspirasi orang lain, bahkan ketika
mereka telah meninggal dunia namun namanya tetap dikenal dan dikenang oleh
generasi berikutnya, seperti contohnya Soekarno, Bunda Theresa, Mahatma Ghandi,
Isaac Newton, Kyai Haji Hasyim Asy'ari dan KH. Ahmad Dahlan dan masih banyak
lagi. Kepemimpinan bukan hanya sebuah seni tentang bagaimana memimpin tetapi
sebuah upaya untuk mempengaruhi orang lain untuk bangkit, berubah dan berlari
untuk mewujudkan diri mereka menjadi lebih baik (naqoy, 2019).
Tujuan
dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana kepemimpinan dengan
gaya dan cara-cara lama sudah tidak efektif lagi dalam situasi double distruption
dan era vuca, sehingga penulis perlu membuat tulisan ini dengan tema “no box
leadership” bagaimana no box leadership memberikan solusi yang nyata kepada
para pemimpin di negeri ini dan bagaimana “no
box leadership” yang dimaksudkan, apakah kita sudah memilikinya atau belum
sama sekali sebagai sebuah motivasi jiwa untuk menjadi di atas rata-rata.
Sebuah
fenomena terjadi di Harvard University, ketika seorang wanita tua diberi gelar
doktor kehormatan, banyak orang yang terinspirasi dengan perilakunya, yang
menarik adalah wanita tua ini adalah seorang tukang cuci pakaian, Robin Sharma
dalam bukunya pemimpin yang tidak punya gelar, namanya Oshela, ketika dia
bekerja di laundry di usia 30 tahun selalu melakukan hal ini: Ini kecil namun
itu terus berlanjut hingga mencapai usia 70 tahun. Setiap dua hari sekali
Oshela meminta anaknya ke Bank untuk menambah uangnya, melihat hal ini manajer
bank akhirnya mengunjungi kediamannya. Manajer bank tersebut bertanya “uang
sebanyak ini mau digunakan untuk apa? ", kemudian ibu Oshela menjawab ‘20%
untuk anak saya dan keluarga saya, sedangkan sisanya untuk anak-anak afirmasi
yang tidak pernah berani bermimpi untuk bersekolah di Amerika.’ (Sharma, 2005:
191)
Langkah
yang dilakukan oleh nenek Oshela ini menjadi sebuah kajian menarik tentang
kepemimpinan “No Box”, sebuah kepemimpinan yang tidak harus memenuhi syarat,
setiap orang pada dasarnya dapat menjadi pemimpin yang dapat mentransformasi
dirinya sendiri dan orang lain. Inilah kualitas pemimpin yang sesungguhnya,
adalah melakukan perubahan untuk publik, kepemimpinan berbasis spiritual juga
dibahas oleh Hunsaker & Jeong, 2020, dengan judul penelitian “leadership
through spiritual leadership. Management science letters, 10-15".
Kepemimpinan berbasis kesadaran spiritual dapat memberikan pengaruh yang kuat
terhadap kinerja dan efektivitas kerja perusahaan dan hasilnya adalah setiap
perilaku kita akan disaksikan atau diikuti oleh orang lain (Hunsaker &
Jeong, 2020).
Hal
ini yang membedakan antara pemimpin (leader) dan manajer, ketika pemimpin
melihat visi jangka panjang yang ditarik menjadi sesuatu yang nyata sedangkan
manajer melihat realitas hari ini dan bagaimana proses terus berjalan, Seperti
kapal pesiar Virgo yang akan berjalan dari pelabuhan Singapura menuju Phuket
tentu saja tidak bisa dilepaskan dari tugas seorang kapten kapal yang merupakan
seorang pemimpin sekaligus manajer kapal yang memastikan semua kebutuhan kapal
tersedia dengan baik, seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap misi yang
diemban, sebagaimana manajer memastikan proses berjalan. Kepemimpinan berbicara
tentang visi sedangkan manajer bagaimana mempraktekkan visi dalam bentuk misi
yang rasional, sistematis dan efektif (hendarawan, 2021)
Abad
ke-20 ini sebenarnya memasuki abad kelima setelah empat abad sebelumnya: abad
pemburu, abad pertanian, abad industri, abad teknologi informasi. Inilah abad
kearifan, pada abad kelima, dimana penekanannya adalah bagaimana upaya manusia
menjadi manusia kembali dengan potensi kepemimpinan yang bahkan sudah
dipersiapkan sejak dalam kandungan, manusia tidak lagi menjadi objek dari
teknologinya sendiri, tetapi merupakan langkah untuk menyadari bahwa teknologi
sehebat dan sehebat apapun yang memegang kendali tertinggi adalah manusia, hal
ini juga ditandai dengan revolusi industri 5.0. (Kertajaya, 2007: 2).
(Kertajaya, 2007: 121).
Sebagaimana
kepemimpinan pada teknologi 4.0 berfokus pada pengembangan pikiran yang “out of the box”, demikian pula tren
pengembangan otomatisasi dan pertukaran data dalam industri manufaktur. Tren
seperti Internet of things (IoT), Internet industrial of things (IioT), Cyber
intelligence (CI), kecerdasan buatan (Ai), pabrik pintar (Ai), tetapi sekarang
menjadi “top of mind” di era digital. Dengan digitalisasi rasanya dunia
berputar cepat dan berubah, jika sebelumnya kita harus menunggu informasi
melalui pos, kita bergeser dengan telekomunikasi yang “mobile” dan akhirnya
masuk ke dunia “realtime”, hanya dalam hitungan detik kita bisa terhubung
dengan dunia manusia di berbagai negara. (Kasali, 2019:10).
Di era
Vuca (Votality, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) (Vuca), kepemimpinan
menjadi efektif tidak hanya karena out of the box, tetapi juga karena
kepemimpinan ini mampu membuat sesuatu yang tadinya terbatas dan tidak bisa
ditenun, seperti sebuah kesadaran bahwa “ketidakberdayaan kita bukan pada
ketidakmampuan kita, tetapi pada visi kita sendiri.” Dalam hal ini kepemimpinan
no box memiliki model DIKW (data informasi, knowledge, wisdom). Kemampuan untuk
mentransformasikan model ini menjadi sebuah produk matang yang dapat dipasarkan
dan diinginkan. Kepemimpinan “no box” tidak lagi terfokus pada “knowledge”
tetapi bagaimana kepemimpinan yang berbasis hati nurani yang memiliki nilai
kearifan diri (wisdom) disebut dengan “leadership wisdom”. (Pretorius et al., 2019)
Stephen
Covey dalam buku barunya “8 kebiasaan untuk menjadi orang yang efektif”
menegaskan bahwa dunia saat ini bukan lagi tentang keefektifannya, tetapi
bagaimana mencapai kehebatan. Ketika situasi normal dapat menjadi ukuran
keberhasilan efektivitas dan produktivitas, namun dalam situasi abnormal
seperti covid 19, kebesaran dalam kebenaran lebih besar. Manusia yang efektif
dilatih kembali untuk menemukan kebesaran ilahi dengan mendengarkan hati nurani
(Siregar dkk, 2015). Penelitian Siregar “Domestikasi dan Foreignisasi Dalam
Proses Penerjemahan Buku The 8 Th Habit Karya Stephen R. Covey Ke Dalam Bahasa
Indonesia” menyebutkan bahwa manusia efektif kebiasaan harus menambahkan satu
item yang tercantum dalam kategori “no box leadership” yaitu dimanapun Anda
bisa. Bagian pertama dari no box leadership dimulai dengan mampu mendengar
suara hatinya sendiri (inner voice), bagian ini kemudian disebut dengan
heartset. Kepemimpinan menuju kehebatan berhasil mengambil waktu “Me time”
untuk dirinya sendiri untuk merenung dan berdialog secara batin untuk menemukan
kebenaran dari setiap hal yang datang (Gero, 2014).
Jeff
Geno (2014) dalam penelitiannya menemukan hubungan yang kuat antara meditasi
dengan kepemimpinan, ketenangan dan mampu mengambil keputusan yang tepat dalam
situasi yang berat adalah kualitas kepemimpinan yang no box. Penelitiannya
berjudul “kepemimpinan &.” Robin Sharma dalam penelitiannya “leadership
wisdom” bahkan memiliki ulasan lebih jauh bahwa kepemimpinan no box adalah
kepemimpinan yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan kebiasaan kebanyakan,
salah satunya adalah kebiasaan bangun jam 05:00, kebiasaan bangun jam 05.00
pagi dengan rutinitas kegiatan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain
(Sharma, 2019).
Robin
Sharma, Stephen Covey dan Naqoy (2018) sepakat bahwa kepemimpinan no box
diawali dengan kebiasaan keheningan diri, ungkapan The7awareness adalah “seni
keheningan esoterik”, Vijay Easwaran (2016) dalam penelitiannya yang berjudul
“in the sphere of silence” saat pemimpin mempraktekkan “no box” secara efektif
menemukan titik temu pada setiap subjek. Karena dalam keheningan akan dengan
mudah mematahkan tekanan apapun, pemimpin di luar efektivitas dan keberlanjutan
dalam keagungan akan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi tidak hanya ketika dia
masih hidup tetapi setelah kematiannya terus berkembang, bahkan lebih, fenomena
seperti ini di Indonesia dapat diambil contoh dari 2 presiden di Bungkarno dan
Gus Dur. Keduanya telah menemukan “kesadaran satu menit”, pengaruh yang memandu
dirinya sendiri bukannya semakin lemah, melainkan semakin kuat (Wahid, 2006).
Bagian
pertama dari “No Box leadership” adalah heartset, ketika para pemimpin berusaha
untuk terhubung dengan Tuhan sehingga kebenaran pribadinya berdampak langsung
pada masyarakat secara umum (kebenaran sosial). Miliki kebiasaan untuk
melampaui keefektifan menuju kehebatan seperti bangun di malam hari, berdoa di
malam hari, bermeditasi, atau melakukan latihan-latihan yang semakin lama
semakin menuju ke arah ketenangan. Bahkan keajaiban bangun di malam hari dalam
bentuk bermain hakim-hakim dapat memberikan efek transformatif pada fisik dan
hati. Hal ini akan mempengaruhi kecerdasan emosional dan spiritual seorang
pemimpin dalam menghadapi tekanan yang mengejutkan (Hafifah & Machfud,
2021).
Bagian
kedua dari “No box leadership” adalah pola pikir mengelola, pola pikir yang
menggunakan pola jalur tangga. Ketika seseorang menaiki anak tangga pertama,
tentu cara pandang terhadap anak tangga pertama akan berbeda ketika sudah
berada di anak tangga yang paling tinggi, dan melihat situasi secara lebih
komprehensif, serta mengambil keputusan yang lebih tepat. Sudut pandang no box
leadership adalah sky view, cara pandang yang melihat masalah dari kacamata
komprehensif, kacamata langit, termasuk istilah Riawan Amin “the celestial
management” TCM, manajemen langit, cara pandang yang tidak hanya memikirkan
keuntungan tetapi juga kesejahteraan bagi umat manusia. Menyeimbangkan
paradigma kerja yang berfokus pada dunia dan akhirat. Dalam TCM pengembangan
organisasi dilandasi oleh tiga pondasi yaitu hidup adalah tempat ibadah, hidup
adalah tempat kekayaan, hidup adalah tempat peperangan. Ketiganya menjadi pola
pikir dalam ZIKR, PIKR, MIKR (Fadhillah & Septyan, 2020)
Yang
ketiga dari bagian “No box leadership” adalah diri yang sadar “soulset”,
(Showry, 2014) menyebutkan bahwa kesadaran adalah kunci dari kepemimpinan,
jurnalnya yang berjudul “self-awareness - key to effective leadership. Jurnal
soft skill-nya, 8(1). Hampir dapat dipastikan bahwa kepemimpinan melampaui keefektifan
berdasarkan kesadaran diri. Naqoy (2019) menyebutnya sebagai kesadaran satu
menit, setiap pemimpin yang telah menemukan kesadaran satu menit akan berlari
secepat rusa yang gesit. Ketika seorang pemimpin gagal menemukan “soulset” maka
akan sulit menemukan makna dalam setiap perjalanan, akan mudah menyalahkan
orang lain atau bahkan dirinya sendiri. Diibaratkan seorang penjahit yang
mencari jarum di halaman sepanjang hari ketika jarum yang jatuh berada di
bawah, ia menemukan dirinya menjawab “karena tidak ada cahaya, di dalam gelap”.
(Koeswinarno, 2015)