BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Menurut
UU no 20 tahun 2003 pasal 3 Tim Fokus Media (2015, hlm 10) menyatakan bahwa : Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kerjasama merupakan salah satu dari
macam-macam perilaku sosial dan unsur kepribadian bangsa Indonesia. Hal
tersebut sangat terlihat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kerjasama
terjadi ketika siswa dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menjadi
kepentingan bersama. Kerjasama dalam suatu kelompok sangat diperlukan di dalam
proses pembelajaran.
Kerja sama dalam pendidikan telah
diamanatkan dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 4 ayat
(6) menyebutkan bahwa “Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan pendidikan”. Kalimat “Memberdayakan semua komponen masyarakat”
berarti pendidikan diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat dalam suasana
kemitraan dan kerja sama yang saling melengkapi dan memperkuat”. Kemudian pasal
6 ayat (3) menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja
sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola Warga Negara Indonesia”.
Mandat kerja sama dalam pendidikan
tersebut bertujuan meningkatkan efisiensi, efektivitas, produktivitas,
kreativitas, inovasi, mutu, dan relevansi pelaksanaan pendidikan. Kerja sama
dalam pendidikan ini dilaksanakan dengan enma prinsip, yaitu: (1) mengutamakan
kepentingan pembangunan nasional; (2) menghargai kesetaran mutu; (3) saling
menghormati; (4) menghasilkan peningkatan mutu pendidikan; (5) berkelanjutan;
dan (6) mempertimbangkan keberagaman kultur yang bersifat lintas daerah,
nasional, dan/atau internasional. Regulasi teknis dan detail terkait kerja sama
dalalm pendidikan ini diatur dalam PP 17/2010 Tentang
Pengelolaan Dan Penyelenggaraan
Pendidikan dan Permendikbud 31/2014 Tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Dan
Pengelolaan Pendidikan Oleh Lembaga Pendidikan Asing Dengan Lembaga Pendidikan
Di Indonesia. Menurut PP 17/2010 dan Permendikbud 31/2014 ini, kerja sama dalam
pendidikan meliputi dua bentuk, yaitu: (1) kerja sama penyelenggaraan
pendidikan pada jalur formal (TK/RA atau bentuk lain yang sederajat, SD/MI
/Madrasah atau bentuk lain yang sederajat, SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat;
SMA/MA/SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat), dan jalur nonformal (lembaga
kursus dan lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat, majelis ta’lim, pondok pesantren, pendidikan diniyah, taman
pendidikan Al-Qur’an, pendidikan anak usia dini jalur nonformal, dan Satuan
pendidikan sejenis lain);
Kedua adalah (2) kerja sama penyelenggaraan pendidikan pada
jalur formal dan nonformal untuk dua bidang, yaitu: a. kerja sama akademik
yakni pertukaran pendidik dan/atau tenaga kependidikan, pertukaran peserta
didik, pemanfaatan sumber daya, penyelenggaraan program kembaran,
penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler, dan/atau kerja sama lain yang
dianggap perlu; dan b. kerja sama non-akademik yakni kontrak manajemen,
pendayagunaan asset, penggalangan dana, pembagian jasa dan lembaga atas hak
kekayaan intelektual, penyelenggaraan program pemagangan peserta didik,
penyelenggaraan ujian internasional, dan/atau kerja sama lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dua bentuk kerja sama dalam pendidikan pada
jalur forma dan nonformal, baik kerja sama penyelenggaraan maupun kerja sama
pengelolaan, dapat dilakukan di dalam negeri maupun dengan luar negeri. Kerja
sama Indonesia dengan luar negeri sendiri telah berjalan cukup lama yang
ditangani secara khusus oleh sebuah institusi yang bernama Lembaga Pendidikan
Indonesia (LPI) untuk Indonesia dan Lembaga Pendidikan Asing (LPA) untuk
pendidikan asing/luar negeri dalam rangka mendirikan Satuan Pendidikan Kerja
Sama (SKP) yaitu satuan pendidikan yang diselenggarakan atau dikelola atas
dasar kerja sama antara LPA yang terakreditasi/diakui di negaranya dengan LPI
pada jalur formal atau nonformal yang sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Situs resmi Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan RI menyebutkan bahwa saat ini ada lima kerja sama dalam
pendidikan antara Indonesia dengan negara-negara di ASEAN (terdiri dari 10
negara di Asia Tenggara), di antaranya: (1) program ASEANEU Cooperation and
Scholarships Day, dimana memberikan beasiswa kepada negaranegara anggita ASEAN
untuk menjalani pendidikan di Eropa khususnya pendidikan tinggi; (2) Pemberian
beasiswa tidak hanya untuk mahasiswa, melainkan juga tenaga pendidik dari
ASEAN. Penawaran beasiswa pendidikan ini, seperti Indonesia yang memberikan
pendidikan kedokteran, embag, dan seni untuk mahasiswa terpilih dari
negara-negara ASEAN; (3) ASEAN Council of Teachers (ACT) sebagai bentuk
pertemuan guru-guru dari berbagai negara anggota ASEAN.
Dengan adanya ACT para pendidik
berdiskusi dan sharing ide-ide untuk mengembangkan kemampuan pendidik dan
lingkungan belajar global; (4) ASEAN-Japan Scholarship Fund, fasilitas beasiswa untuk
negara-negara anggota; dan (5) ASEAN belajar di berbagai universitas ASEAN dan
Jepang.1 Di balik regulasi dan praktek kerja sama itu, tentu saja ada masalah
yang timbul yang dapat mengganggu tercapainya tujuan, yaitu konflik. Dalam
setiap organisasi dan kehidupan yang melibatkan banyak orang, disamping ada
proses kerja sama untuk mewujudkan tujuan organisasi, tak jarang juga terjadi
perbedaan pandangan, ketidakcocokan, dan pertentangan yang bisa mengarah pada
konflik.
Di dalam organisasi manapun terdapat
konflik, baik yang masih tersembunyi maupun yang sudah muncul secara
terang-terangan. Mujammil Qomar menyatakan bahwa konflik merupakan kewajaran
dalam suatu organisasi, termasuk dalam lembaga pendidikan, terutama konflik
keorganisasian dalam lembaga pendidikan yang dikelola Yayasan. Beberapa ahli
manajemen menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu yang alamiah, yang jika
melewati batas juga dapat berakibat fatal, tetapi dapat bernilai positif
apabila dikelola dengan baik dan hati-hati dan menjadi kekuatan seseorang dan
masyarakat untuk menciptakan sebuah kehidupan baru di dunia ini, menjadi energi
yang dahsyat dan dapat dijadikan sebagai alat untuk melakukan perubahan.
Memperhatikan pentingnya kerja sama dalam
pendidikan dengan adanya pendekatan yuridis berupa payung hukum yang menaungi
dan memandunya secara jelas di satu sisi, tetapi di sisi lain berbagai fakta
mengindikasikan masih banyaknya lembaga pendidikan yang belum mampu menjalin
kerja sama secara baik dengan instansi di dalam maupun luar negeri, bahkan ada
yang malah sibuk atau menguras energi untuk mengatasi konflik internal sehingga
lamban untuk “move on” apalagi untuk “go international”, maka diperlukan
pendekatan lain yang lebih mendasar yaitu pendekatan agama, filsafat,
psikologi, dan sosiologi.
Dalam The7Awareness sebuah konflik bisa
membuat sebuah organisasi pendidikan dan penyelenggara pendidikan menemukan “One Minute Awareness” atau “One Minute Non Sense”. Bagi One Minute Awareness sebuah konflik akan
membuat semakin tumbuh dan berkembang, memiliki motivasi tinggi dan inovasi
tanpa batas sehingga akhirnya menjadi yang terbaik, sementara “One Minute Nonsense” konflik melahirkan perpecahan
dan putusnya sebuah silaturahmi yang telah lama dibangun. Kita mungkin sering
memahami dan melihat sebuah lembaga pendidikan yang awalnya “satu” namun karena
konflik akhirnya terpecah belah. Walau sebenarnya dalam
kehidupan sehari-hari, konflik adalah sesuatu yang nyata dan selalu ada selama
seseorang masih hidup bersosial bersama masyarakat. Konflik antar perorangan
dan antar kelompok merupakan bagian dari sejarah umat manusia. Berbagai macam
keinginan seseorang dan tidak terpenuhinya keinginan tersebut dapat juga
berakhir dengan konflik (Yusuf, 2019).
Dengan empat pendekatan ini,
diharapkan para pemangku kepentingan pendidikan muncul kesadaran
religiusitasnya, kesadaran kognitifnya, kesadaran kemanusiaannya, dan kesadaran
kemasyarakatannya, sehingga kooperatif dan konflik dalam pendidikan dapat
dipahami dan dikelola dengan sebaik-baiknya dan memberi manfaat-maslahat bagi
semua. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis apa, mengapa, dan bagaimana kooperatif dan konflik dalam
pendidikan berbasis agama, filsafat, psikologi, dan sosiologi.
1.2 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pemaparan dalam latar belakang masalah
di atas maka tujuan penelitian ini diantaranya :
1. Mengkaji koorporatif
dan konflik dalam Pendidikan dari
dimensi teologis
2. Mengkaji koorporatif
dan konflik dalam Pendidikan dari
dimensi filosofis
3. Mengkaji koorporatif
dan konflik dalam Pendidikan dari
dimensi psikologis
4. Mengkaji koorporatif
dan konflik dalam Pendidikan dari dimensi sosiologis
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Koorporatif dan konflik dalam pendidikan
Kerjasama dan perselisihan dalam proses
pendidikan adalah bagian dari hukum alam yang terjadi , kedua hal ini akan
mudah ditemui dalam dunia pendidikan sekitar kita, adanya lembaga pendidikan
yang semakin besar karena kerjasama dan sebaliknya lembaga pendidikan yang
semakin sunyi dan sepi dikarenakan konflik dalam dunia pendidikan semakin
nyata. Kedua hal ini bagaikan sebuah kutub yang saling bertolak belakang
diantara keduanya. Semakin harmonis dalam kerjasama maka akan sedikit menemukan
konflik dan sebaliknya semakin banyak konflik akan berdampak sulitnya membangun
kerjasama.
Kerja sama
merupakan salah satu proses interaksi
sosial asosiatif. Dikatakan interaksi sosial asosiatif karena
hubungan yang terjalin dalam kerja sama bersifat positif atau mengarah pada
kesatuan.Kerja sama adalah sebuah usaha bersama antara individu atau kelompok
manusia agar dapat mencapai tujuan bersama. Kerja sama akan muncul
jika seseorang menyadari bahwa di antara mereka saling memiliki kepentingan
yang sama di waktu yang bersamaan.
Bentuk dan pola kerja sama dapat
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pembinaan bentuk dan pola kerja
sama dimulai dari lingkup paling kecil, yaitu keluarga hingga berkembang di
wilayah masyarakat melalui tindakan secara bersama-sama. Charles H.Cooley (Soekanto, 1990 dalam buku Sosiologi
Suatu Pengantar) mengatakan kerja sama juga akan semakin menguat jika ada
bahaya dan gangguan dari luar yang dapat mengancam keberadaan kelompoknya.
Dalam
buku One Minute Awareness, (Naqoy, 2019)
dijelaskan bahwa kerja sama bisa semakin menguat ketika memiliki rumus
ini “T X I X P X K”. Ketika memiliki kesamaan dalam (1) . Tekanan , semakin
memiliki ancaman yang sama, sebuah keadaan yang mendorong bekerjasa semakin
saling membutuhkan, hal ini tercermin dalam organisasi dunia pendidikan seperti
IGRA, HIMPAUDI, PGMII, PGRI dan sebagainya. Naqoy menjelaskan bahwa
tekanan adalah modal terbesar dan
terkuat sebuah kerjasama akan berjalan dengan penuh kesadaran dan berpikir
untuk jangka panjang. Sebaliknya ketika tekanan yang dialami tidak sama, maka
kerja sama akan mudah mengalami kemunduran bahkan kegagalan dalam banyak hal.
Bagian
kedua adalah (2). Impian, kerjasama akan semakin kuat paada saat memiliki
impian yang sama, ketika Indonesia dan negara lainya yang tergabung dalam G20
yang menghasilkan “Gotong Royong Global” akan memberikan dampak besar dalam
dunia pendidikan, ekonomi dan UMKM dalam negeri. Dalam situs www.kemendikbud.go.id dijelaskan bahwa
“UNESCO sangat relevan dengan tema G20
yaitu pulih bersama (Recover Together, Recover Stronger)”. Hal ini merupakan tema besar yang diangkat
presidensi G20 Indonesia kali ini. Para pemimpin negera yang tergabung
G20 menilai ada 4 hal penting dalam impian pendidikan yaitu pendidikan universal yang berkualitas,
teknologi digital dalam pendidikan, solidaritas dan kemitraan, serta dunia
kerja pasca-Covid.
Bagian
ketiga (3) dalam kerjasama (Koorporatif)
adalah kesamaan dalam keyakinan terhadap masa depan yang sedang direncanakan,
kepercayaan bahwa sebuah pekerjaan atau bisnis bisa dijalamkan walau memiliki
rintangan yang berat, di Indonesia dilakukanlah sebuah kerjasama antar pemeluk
agama , kerjasama terhadap untuk kepala sekolah di dunia pendidikan . Bagian
terakhir (4) adalah konsistensi, dalam bisnis inilah yang dibutuhkan, memulai
sama-sama dari titik terendah bahkan nol untuk menuju suskes. Ketika
bekerjasama dalam ketekunan (konsistensi) akan membawa sebuah gambar masa depan
yang sukses di atas rata-rata (Yusuf, 2011)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), etimologi kata ‘kooperatif’ adalah “bersifat kerja sama; bersedia
membantu”, sementara ‘konflik’
adalah “percekcokan; perselisihan; pertentangan”, dan ‘pendidikan’ adalah
“proses, cara, perbuatan mendidik; proses mengubah sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan”. Sedangkan dalam Webster Dictionary, etimologi kata ‘cooperative’ adalah “Operating jointly to the same end”,
sedangkan kata ‘conflict” adalah “A striking or dashing together; violent
collision”, dan ‘education’ adalah “The
act or process of educating; the result of educating, as determined by the
knowledge skill, or discipline of character, acquired”. Singkatnya,
kooperatif dan konflik dalam pendidikan adalah kerja sama dan perselisihan
dalam proses pendidikan.
Terminologi kooperatif (kerja sama)
adalah suatu usaha bersama antara individu atau kelompok sosial untuk mencapai
tujuan bersama, dengan tugas berbeda satu dengan yang lain, tetapi memilki aturan yang disepakati. Menurut
Charles H. Cooley, kerja sama timbul dari adanya kesadaran kepentingan yang
sama dan mempunyai cukup pengetahuan untuk memenuhinya. Kerja sama sudah ada sejak manusia
berinteraksi dengan sesamanya, dari mulai kanak-kanak, keluarga sampai kelompok
sosial yang lebih luas. Menurut Heru Puji Winarso, ada lima bentuk kerja
sama, yaitu:
(1) Kerukunan, yakni gotong royong dan tolong
menolong antar individu;
(2) Bargaining (tawar-menawar) yakni
melakukan pertukaran barang atau jasa antara
dua organisasi
atau lebih;
(3) Cooptation (kooptasi), yakni menerima
hal-hal baru agar menjadi lebih seimbang;
(4) Coalition (koalisi), yakni
memadukan dua organisasi atau lebih yang mempunyai
tujuan yang sama,
meskipun akan terjadi instabilitas pada awalnya;
(5)
Joint Venture (usaha patungan), yakni melakukan patusan usaha dengan berbagai pihak
dengan latar belakang yang berbeda.
Kelima bentuk kerja sama itu muncul
karena dimotivasi oleh lima faktor, yaitu: (1) Orientasi perorangan terhadap
kelompoknya; (2) Ancaman dari luar (musuh bersama); (3) Rintangan dari luar;
(4) Mencari keuntungan pribadi; dan (5) Menolong orang lain. Dalam konteks pendidikan,
lima bentuk kerja sama dan lima motivasinya tersebut dapat diterapkan dalam
penyelanggaraan maupun pengelolaan pendidikan pada jalur formal dan norformal,
baik di dalam maupun di luar negeri. Setidaknya untuk tiga tujuan dan manfaat,
yaitu: (1) efektifitas penjaringan peserta didik yang lebih luas; (2) efiisensi
waktu, tenaga dan biaya dalam pemberian informasi dan penyelenggaraan
pendidikan; dan (3) pencitraan positif lembaga pendidikan, sehingga lebih
dikenal dan dipercaya oleh publik. Hanya saja, menurut Abuddin Nata, ada dua
hal yang perlu diperhatikan agar kerja sama berjalan baik, yaitu: (1) Saling terbuka,
yakni melakukan keterbukaan informasi menyangkut segala hal sehingga tidak ada
rasa saling curiga; (2) Saling mengerti, yakni saling memhami dan menerima
kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Sedangkan terminologi konflik,
menurut Miles dalam Steers, adalah suatu kondisi dimana dua kelompok tidak
mampu mencapai tujuan-tujuan mereka secara simultan. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa konflik adalah kondisi perselisihan akibat adanya
ketidaksepemahaman dan ketidaksesuaian motif atau tujuan.
Konflik akan terjadi apabila ada
perbedaan pemahaman antara dua orang atau lebih terhadap berbagai perselisihan,
ketegangan, kesulitankesulitan diantara para pihak yang tidak sepaham. Konflik
juga bisa memicu adanya sikap berseberangan (oposisi) antara kedua belah pihak
dimana masingmasing pihak memandang satu sama lainnya sebagai lawan/penghalang
dan diyakini akan mengganggu upaya tercapainya tujuan dan tercukupinya
kebutuhan masing-masing. Terlepas dari banyaknya penyebab terjadinya konflik,
perbedaan latar belakang kedua belah pihak hingga terjadi konflik, perbedaan
kepentingan diantara individu dalam kelompok/ masyarakat yang kesemuanya saling
terkait dalam realita sosial yang kompleks.
Konflik bukanlah sesuatu yang haru
dihindari, dianggap momok yang menakutkan dalam kehidupan berorganisasi melalakukan
kaus, dipandang sebagai dinamisator dalam setiap aktifitas organisasi itu
sendiri, tanpa konflik organisasi akan mati dan dengan adanya konflik
organisasi akan hidup dan berkembang. Dalam bukunya “Managing People” A. Dale Timple menuliskan
seperti ini tentang sebuah konflik
“Konflik bukanlah suatu fenomena yang obyektif dan nyata,
tetapi, ia ada dibenak orang-orang yang terlibat Hanyalah perwujudannya, seperti sedih, berdebat, atau
berkelahi yang terlihat nyata. Karena itu, untuk menangani konflik, seseorang
perlu bersikap empati, yaitu memahami keadaan sebagaimana dilihat oleh para
pelaku penting yang terlibat. Unsur yang penting dalam manajemen adalah
persusi”.
Konflik selalu mewarnai kehidupan,
dari konflik sangat kecil sampai konflik sangat besar. Konflik terjadi akibat
perbedaan perepsi, berlainan pendapat dan karena ketidaksamaan kepentingan.
Konflik ada yang bisa diselesaikan secara tuntas, ada yang setengah tuntas, ada
juga yang berlarut-larut tanpa solusi.
Menurut
Miles dalam Steers, menjelaskan bahwa istilah “konflik” menunjuk pada suatu
kondisi dimana dua kelompok tidak mampu mencapai tujuan-tujuan mereka secara
simultan. Dalam konteks ini perbedaan dalam tujuan merupakan penyebab munculnya
konflik. Pendapat tersebut sejalan dengan batasan konflik yang diberikan oleh
Dubin sebagaimana juga dikutip oleh Sulistyorini dan Muhammad Fathurrohman
bahwa konflik berkaitan erat dengan suatu motif, tujuan, keinginan, atau
harapan dari dua individu atau kelompok tidak dapat berjalan secara bersamaan (incompatible).
Adanya
ketidaksepakatan tersebut dapat berupa ketidaksetujuan terhadap tujuan yang
ditetapkan atau bisa juga terhadap metode-metode yang digunakan untuk mencapai
tujuan (Fathurrahman, 2014:296-297). Menurut Hardjana bahwa konflik adalah
perselisihan, pertentangan antara dua orang atau dua kelompok dimana perbuatan
yang satu berlawanan dengan yang lainnya sehingga salah satu atau keduanya
saling terganggu (Wahyudi, 2011:18).
Dari beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa konflik adalah akibat dari ketidaksepemahaman dan
ketidaksesuaian baik antar individu ataupun kelompok dalam hal memenuhi tujuan
yang berakibat pada terganggunya masing-masing individu atau kelompok tersebut Pengertian konflik juga
dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu: Pertama, pandangan
tradisional. Pandangan tradisional ini menyatakan bahwa semua konflik itu
buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus
dihindari.
Kedua,
pandangan hubungan manusia. Pandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik
merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi.
Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari karena itu keberadaan
konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga
bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Ketiga, pandangan
interaksionis. Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas asumsi
bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi
statis, apatis,tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut
aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara
berkelanjutan, sehingga kelompok tersebut tetap bersemangat (viable),
kritis-diri (self-critical), dan kreatif (Saefullah, 2012:295-296).
Dari
tiga sudut pandang di atas, dapat penulis simpulkan bahwa adanya konflik dapat
memunculkan cara pandang positif maupun negatif. Oleh sebab itu, konflik adalah
bagian yang harus diselesaikan dengan baik agar meminimalisir dampak negatif
dari munculnya konflik tersebut. Lebih lanjut, menurut Stephen. P. Robbins yang
telah menelusuri perkembangan tersebut, dengan penekanan pada perbedaan antara
pandangan tradisional tentang konflik dan pandangan baru, yang sering disebut
pandangan interaksionis. Dari penjelasan definisi manajemen dan konflik secara
terpisah di atas, maka pengertian “manajemen konflik” itu sendiri adalah sebuah
kemampuan mengendalikan konflik yang terjadi, yang menuntut keterampilan
manajemen tertentu.
Adapun terminologi pendidikan dapat
ditemui pada pendapat John Dewey, bahwa pendidikan adalah suatu proses
pembaharuan makna pengalaman, yang mungkin akan terjadi di dalam pergaulan
biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi
secara sengaja dan dilembagakan untuk menghasilkan kesinambungan sosial. Dari
uriaan etimologis dan terminologis di atas dapat disimpulkan bahwa kooperatif
dan konflik dalam pendidikan adalah kerja sama dan perselisihan dalam proses
pendidikan yang terjadi alami dan harus dikelola dengan sebaik-baiknya sehingga
bermaslahat bagi semua.
Untuk memperkuat dasar terminologi
profesionalisme dalam pendidikan nasional di atas perlu dikaji pedoman-pedoman
agama, filsafat, psikologi, dan sosiologi, sehingga kooperatif dan konflik
dalam pendidikan memiliki basis yang kuat dan berkmakna, seperti paparan
berikut.
2.2 Landasan Teologis dalam koorporasi
dan konfik dalam Pendidikan
Secara etimologis, kata ‘berbasis’
dalam bahasa Inggris disebut based on yang dalam Oxford Learner’s Dictionary
didefinisikan sebagai “to use an idea, a
fact, a situation, etc. as the point from which something can be developed”,
Sedangkan kata ‘agama’
disebut religion yang berarti “the belief
in the existence of a god or gods, and the activities that are connected with
the worship of them, or in the teachings of a spiritual leader”. Dengan
demikian, kooperatif dan konflik dalam pendidikan berbasis agama adalah kerja
sama dan perselisihan dalam proses pendidikan berpedoman pada ajaran Tuhan,
terutama yang termaktub dalam ayat-ayat kitab suci.
Banyak ayat al-Quran yang berbicara
tentang kooperatif dan konflik, yang secara umum terdapat dalam QS. Al-Maidah:
2
“Bertolong-tolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran, dan
bertakwalah kamu kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah sangat berat siksanya”,
Dalam ayat lainya
yaitu QS. An-Nisa: 59
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah
dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian
berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika
kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Secara umum, QS. Al-Maidah: 2
tersebut berisi perintah Tuhan agar bekerja sama (kooperatif) dalam kebaikan,
bukan dalam keburukan, sedangkan QS. An-Nisa: 59 berisi perintah Tuhan agar
kembali kepada Allah dan Rasul-Nya bila ada perselisihan (konflik) sebagai
bukti keimanan dan ketakwaan seorang hamba kepadaNya. Kedua ayat ini juga
mengindikasikan bahwa kooperatif dan konflik dapat berpotensi kebaikan dan
keburukan, tergantung penggunannya.
Terkait kerja sama dalam kebaikan
tersebut, penelitian Rahmatul Hijrati menemukan enam cara kerja sama (ta’awaun)
dalam al-Quran, yaitu:
(1) Kerja sama kebajikan dan ketakwaan,
disebutkan dalam Q.S. Al-Maidah; 2;
(2) Kerja sama tenaga, disebutkan dalam Q.S.
Al-Kahfi: 95;
(3) Kerja sama orang terdekat, disebutkan dalam
Q.S. Al-Hujurat: 9-10;
(4) Kerja sama mendamaikan perselisihan,
disebutkan dalam Q.S. Thaha: 9-32;
(5)
Kerja sama sabar dan shalat, disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah: 153 dan 177; dan
(6)
Kerja sama kemaslahatan materi dan immateri, disebutkan dalam Q.S. Al-Ma’un:
1-7
Dalam konteks pendidikan, kelima cara
kerja sama dalam al-Quran tersebut masih relevan digunakan dalam
penyelenggaraan atau pengelolaan pendidikan pada jalur formal dan nonformal,
baik di dalam maupun luar negeri. Sedangkan terkait konflik dalam keburukan,
penelitian Aina Marfuzah dan juga Mahyuni dan Desi Yudian menemukan 13 ayat al-Quran tentang konflik,
antara lain Q.S. Al-Baqarah: 256, Q.S. Ali Imran: 134 dan 159, Q.S. An-Nisa’:
35, 58, 94, 128, dan 149, Q.S. Al-A’raf: 199, Q.S. Al-Syūrā: 38, dan Q.S. Al-Ḥujarat:
6, 9 dan 10, yang dapat ditangani dengan dua cara, yaitu:
(1) Musyawarah, yang meliputi Al-Sulh
yakni negosiasi, Tabayyun yakni meneliti kebenaran informasi, Iṣlaḥ yakni tekad
untuk berdamai, dan al-‘Afw yakni sifat saling memaafkan; dan
(2) Taḥkīm (Arbitrase), yang meliputi
Wasatha yakni mediasi, al-‘Adl yakni berlaku adil dalam menetapkan hukum, dan
al-Ḥurriyyah yakni kebebasan dengan tidak adanya paksaan.
Dalam konteks pendidikan, kedua cara
penanganan konflik dalam al-Quran tersebut masih aktual digunakan dalam
penyelenggaraan atau pengelolaan pendidikan pada jalur formal dan nonformal,
baik di dalam maupun luar negeri. Dari pembahasan agama tersebut dapat
disimpulkan bahwa kooperatif dan konflik dalam pendidikan berbasis agama adalah
kerja sama dan perselisihan dalam proses pendidikan berpedoman pada ajaran
Tuhan yang menghendaki kebaikan, dimana kerja sama dijalin dalam kebajikan dan
ketakwaan, tenaga, orang terdekat, perdamaian, sabar dan shalat, kemaslahatan
materi dan immateri, sedangkan konflik ditangani dengan cara musyawarah dan
tahkim (arbitrase).
2.3 Landasan Filosofis koorperatif
dan konflik dalam pendidikan
Secara etimologis, kata ‘filsafat’
dalam bahasa Inggris disebut philosophy dimana Oxford Learner’s Dictionary
mengartikannya dengan “the study of the
nature and meaning of the universe and of human life”. Dari definisi
etimologis tersebut dapat diartikan bahwa kooperatif dan konflik dalam
pendidikan berbasis filsafat adalah kerja sama dan perselisihan dalam proses
pendidikan berpedoman pada pengetahuan semesta dan makna kehidupan, termasuk
produk pemikiran para ahli filsafat.
Salah satu aliran Filsafat yang dapat
dijadikan pedoman kooperatif dan konflik dalam pendidikan adalah
Rekonstruksionisme. Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris
reconstruct, yang berarti menyusun kembali. Menurut Muhammad Noor Syam (1985),
kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang
mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Callahan dan Clark (1983) memandang Rekonstruksionisme
dilakukan melalui rekayasa sosial dengan jalan pendidikan/ sekolah34 yang
demokratis atau konsensus. Merujuk pada aliran filsafat Rekonstruksionisme
tersebut, kooperatif dan konflik dalam pendidikan ditangani secara
rekonstruktif yakni menjalin kembali berbagai kerja sama pendidikan yang
dipandang konstruktif (menguntungkan semua pihak), baik kerja sama
penyelenggaraan maupun pengelolaan di dalam dan di luar negeri, dan memperbaiki
kembali konflik yang terjadi secara demokratis atau konsensus sehingga semuanya
sepakat untuk mencapai tujuan bersama .
Dari uriaan di atas dapat disimpulkan bahwa
kooperatif dan konflik dalam pendidikan berbasis filsafat adalah kerja sama dan
perselisihan dalam proses pendidikan berpedoman pada pengetahuan semesta dan
makna kehidupan yang menghendaki rekonstruksi, yang dilakukan dengan cara
demokrasi atau konsensus.
2.4 Landasan Psikologis koorperatif dan konflik dalam
pendidikan
Secara
etimologis, kata ‘psikologi’ dalam bahasa Inggris disebut psychology dimana
Oxford Learner’s Dictionary memaknainya dengan “the scientific study of the
mind and how it influences behavior”. Dari pengertian etimologis tersebut dapat
diartikan secara ringkas bahwa kooperatif dan konflik dalam pendidikan berbasis
psikologi adalah kerja sama dan perselisihan dalam proses pendidikan berpedoman
pada ilmu pikiran dan tingkah laku, termasuk produk pemikiran para ahli
psikologi. Psikologi Islam (The Islamic Psycology) dapat dijadikan panduan kooperatif dan konflik
dalam pendidikan.
Istilah
Psikologi Islam mulai muncul sejak tahun 1978 saat berlangsung simposium
internasional tentang Psikologi dan Islam di Universitas Riyadl, Arab Saudi.
Sethun kemudian, 1979, di Inggris terbit sebuah buku kecil yang sangat
monumental di dunia Muslim, yaitu The Dilema of Muslim Psychologists karya
Malik B. Badri, yang kemudian memberikan inspirasi bagi lahirnya Psikologi
Islam. Psikologi Islam tidak hanya pemikiran dan praktik yang berasal dari
agama Islam, tapi juga dari sumber-sumber lain yang dapat diterima oleh atau
sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, pandangan dunia Islam,
pandangan dari khazanah Islam seperti fitrah, qalbu, ruh, nafs, insan kamil,
sabar, syukur, dan seterusnya.
Metode-metode yang
dipakai dalam Psikologi Islam adalah metode keyakinan, metode rasional,
integrasi metode keyakinan dan rasional, dan metode otoritas. Merujuk pada
aliran Psikologi Islam beserta lima metodenya tersebut, kooperatif dan konflik
dalam pendidikan dapat ditangani dengan cara: (1) keyakinan, yakni meyakini
atau mengimani bahwa kooperatif dan konflik dalam pendidikan adalah skenerio
ilahi atau sunnatullah yang pasti adanya dalam rangka fastabiqul khairat atau
berkompetisi untuk mencapai kebaikan dalam koridor nilai-nilai atau
prinsip-prinsip yang telah digariskan Tuhan.
Yang kedua adalah (2)
rasional, yakni menangani kooperatif dan
konflik dalam pendidikan secara logis (akal sehat), tidak emosional; (3)
integrasi keyakinan dan rasional, yakni menangani kooperatif dan konflik dalam
pendidikan berpedoman pada keyakinan ajaran Tuhan dalam kitab suci dan
pertimbangan akal sehat; dan (4) otoritas, yakni menangani kooperatif dan
konflik dalam pendidikan berpedoman pada para pihak yang memiliki otoritas atau
kewenangan yang lebih tinggi, seperti Tuhan, penguasa, hakim, orang alim, atau
orang yang betul-betul ahli di bidangnya. Dari paparan di atas dapat
disimpulkan bahwa kooperatif dan konflik dalam pendidikan berbasis psikologi
adalah kerja sama dan perselisihan dalam proses pendidikan berpedoman pada ilmu
pikiran dan tingkah laku yang islami, yang ditangani melalui metode keyakinan,
rasional, integrasi metode keyakinan dan rasional, dan otoritas.
2.5 Landasan Sosiologis koorperatif dan konflik dalam pendidikan
Secara
etimologis, kata ‘sosiologi’ dalam bahasa Inggris disebut sociology dimana
Oxford Learner’s Dictionary mendefinisikannya dengan “the scientific study of
the nature and development of society and social behavior”. Dari pengertian
tersebut dapat diartikan bahwa kooperatif dan konflik dalam pendidikan berbasis
sosiologi adalah kerja sama dan perselisihan dalam proses pendidikan berpedoman
pada ilmu sosial, termasuk produk pemikiran para ahli sosiologi. Sosiologi
Sistem (Sistem Sosial) termasuk salah satu aliran sosiologi yang bisa menjadi
pedoman kooperatif dan konflik dalam pendidikan.
Tokoh Sosiologi Sistem adalah Niklas Luhmann
dengan gagasan intinya adalah dunia berada dalam sebuah kompleksitas sistem.
Sosiologi Sistem bersumsi dasar bahwa dunia secara keseluruhan merupakan sebuah
sistem dan dunia sosial memiliki sistemnya sendiri yaitu komunikasi yang
diproduksi oleh masyarakat dan berada dalam kompleksitas lingkungan.
M.T.
Rahman memberikan definisi sederhana bahwa sistem sosial adalah interaksi
antara peranan-peranan sosial yang membangun kesatuan dalam suatu kelompok
sosial yang memiliki nilai sosial dan norma sosial serta cita-cita bersama.
Sebelum Niklas Luhmann, Sistem sosial sebagai konsep sosiologi telah
dikemukakan oleh para sosiolog pada abad ke-19 M yaitu Auguste Comte, Karl
Marx, Herbert Spencer, dan Emile Durkheim, yang memandang bahwa seorang
individu dapat menjadi bagian dari banyak sistem sosial secara bersamaan.
Sistem sosial ini harus dipahami sebaik-baiknya agar tetap dinamis dan
berdampak positif bagi semua, yang dapat dilakukan melalui dua pendekatan,
yaitu pendekatan kualitatif
(metode historis, komparatif, dan studi kasus) dan pendekatan kuantitatif
(metode deduktif, induktif, empiris, rasional, dan fungsional.
BAB III METODOLOGI
PENELITIAN
Artikel ini menggunakan model riset pustaka (library research) dengan
pendekatan kualitatif. Metode riset menggunakan model naratif analisis
deskriptif. Persoalan strategic planning pendidikan akan dicarikan jawaban
melalui dasar-dasar teks dan pemikiran teologi (agama), filsafat, psikologi,
dan sosiologi. Selanjutnya pembahasannya
dikembangkan mendasarkan pada analisa atas dasar-dasar tersebut dalam bentuk
diskripsi-diskripsi yang menyeluruh dan utuh. Asumsinya adalah bahwa terdapat
suatu proses pendidikan atau dalam sebutan lain seperti pelatihan dan lainnya.
BAB IV PEMBAHASAN
4.1
Koorporatif dan konflik Pendidikan
Charles H. Cooley, sosiolog Amerika, berpendapat
bahwa kerja sama akan timbul jika individu menyadari bahwa mereka memiliki
kepentingan yang sama dan sekaligus memiliki pengetahuan yang cukup serta
kesadaran atas diri sendiri untuk memenuhi kepentingan tersebut. Sedangkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kerja sama sebagai kegiatan atau
usaha yang dilakukan oleh beberapa orang (lembaga, pemerintah, dan sebagainya)
untuk mencapai tujuan bersama.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
kerja sama adalah keinginan untuk bekerja secara bersama-sama dengan individu lain secara keseluruhan dan menjadi
bagian dari kelompok dalam mencapai kepentingan bersama. Dari pengertian diatas, bekerja sama memiliki tujuan
antara lain (1). Melatih berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah, (2). Mengembangkan kemampuan bersosialisasi dan
berkomunikasi, (3). Menumbuhkan rasa percaya diri (3).Saling memahami individu dalam kelompok.
Terkait
dengan manajemen untuk menghadapi
konflik tentunya harus digunakan pula fungsi serta prinsip-prinsip manajemen.
Manajemen yang efektif dikatakan berhasil bila mampu mengembangkan dan
mengimplementasikan strategi konflik dengan baik (Syukur, 2011:163). Manajemen
konflik sebagai proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun
strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan
resolusi yang diinginkan (Wirawan, 2004:169). Hal ini menegaskan bahwa
manajemen konflik adalah proses untuk menyusun strategi untuk mengendalikan
konflik sesuai dengan prinsip manajemen secara baik.
Manajemen Konflik adalah sebuah
proses mengelola konflik dengan menyusun sejumlah strategi yang dilakukan
oleh pihak-pihak berkonflik sehingga mendapatkan resolusi yang diinginkan.
Dalam sudut pandang demokrasi, manajemen konflik akan berbicara perihal
bagaimana konflik ditangani secara konstruktif, membawa pihak yang berkonflik
ke dalam suatu proses yang kooperatif, serta merancang sistem kooperatif yang
praktis untuk mengelola perbedaan secara konstruktif. Melalui manajemen
konflik, konflik akan dikelola sehingga dapat membatasi aspek negatif dan
meningkatkan aspek positif dari konflik yang terjadi.
Berikut
beberapa model manajemen konflik menurut para pakar, diantaranya adalah model model Blake dan Mouton, Model Thomas, Kilmann, dan Renwick, Meta-Model Rahim, masing-masing memiliki karakteristik dan
struktur yang unik dan berbeda yaitu :
Model
Blake dan Mouton
Pada
tahun 1964, Blake dan Mouton mengembangkan lima model manajemen konflik dalam
mengelola konflik interpersonal. Kelima model tersebut yaitu model memaksa, model menghindar, model
menghaluskan, model kompromi dan model penyelesaian masalah. Model memaksa merupakan model pengelolaan konflik cara
memaksa salah satu pihak untuk mengalah. Model ini sering disebut memaksa
karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah.Model
menghindar adalah model
pengelolaan konflik dengan cara menghindar dari konflik yang sedang
terjadi. Model menghaluskan
adalah model pengelolaan konflik dengan menekankan pada persamaan
kepentingan dan mengurangi perbedaan di antara pihak-pihak yang berkonflik.
Model
kompromi adalah model pengelolaan konflik yang menempatkan seseorang pada
posisi moderat, memadukan kepentingan sendiri dengan kepentingan orang lain.
Model ini dapat juga disebut dengan model kompromi sehingga pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan saling memberi dan menerima dari pihak-pihak
berkonflik. Sementara model penyelesaian masalah adalah model pengelolaan
konflik di mana pihak yang berkonflik bersama-sama mengidentifikasi masalah,
berkolaborasi untuk mencari, mempertimbangan, serta memilih solusi alternatif
dari permasalahan yang ada.
Model Thomas,
Kilmann, dan Renwick
Model yang dikonsepkan oleh
Blake dan Mouton ini kemudian dikembangkan oleh Thomas, Kilmann, dan Renwick
yang didasarkan pada perhatian perilaku asertif (keinginan untuk memuaskan diri
sendiri) dan perilaku kooperatif (keinginan memuaskan pihak lain). Kedua hal
tersebut membentuk lima model manajemen konsep
yaitu model kompetisi, model kolaborasi, model penghindaran, model
penyamarataan dan model kompromi.
Model
penghindaran merupakan model manajemen konflik yang tidak bersifat kooperatif
maupun asertif. Pihak yang tidak menyetujui sesuatu hal akan menghindari untuk
menyampaikan ketidaksetujuannya. Sikap yang ditampakkan adalah sikap netral
dengan tidak memihak kepada siapapun. Model penyamarataan merupakan model yang
bersifat kerja sama tetapi tidak bersifat tegas. Pada model ini, suatu kelompok
memberikan hak kepada
kelompok lain untuk menetapkan peraturan yang akan diberlakukan. Keharmonisan
dipertahankan dengan cara mengabaikan perbedaan yang ada di masing-masing
kelompok.
Model kompetisi bersifat tegas namun tidak
memiliki kerja sama. Sifat utamanya adalah persaingan dengan
kelompok lain. Keinginan kelompok lain dilawan melalui kewenangan yang dimiliki
oleh kelompoknya. Pilihan akhir dari model kompetisi adalah memperoleh
kemenangan atau kekalahan. Model kompromi bersifat tegas dan ada kompromi yang
seimbang. Sifatnya adalah adanya tawar-menawar yang diterima oleh tiap pihak
yang berkonflik. Pada model ini, tiap pihak memperoleh sedikit kemenangan dan
kekalahan secara bersamaan. Sementara model kolaborasi memiliki sifat
kerja sama dan ketegasan. Masing-masing pihak berusaha memenuhi kebutuhannya
dalam meraih keuntungan, tiap
perbedaan yang ada diselesaikan melalui penyelesaian masalah.
Meta-Model
Rahim
Berbeda
dengan model yang sebelumnya, Rahim menciptakan model pengelolaan konflik
berdasarkan dua dimensi dasar yaitu menyangkut perhatian untuk diri
sendiri (concern for self) dan perhatian untuk orang
lain (concern for others) . Dua dimensi ini
melahirkan lima model pendekatan manajemen konflik, yaitu:
- Mengintergasi (Integrating) melibatkan
keterbukaan, pertukaran informasi, mencari alternatif, dan memeriksa
perbedaan untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang dapat diterima oleh
kedua belah pihak.
- Menuruti (Obliging) dikaitkan
dengan upaya meminimalkan perbedaan dan mendorong kesamaan untuk memuaskan
perhatian pihak lain.
- Mendominasi (Domintating) berusaha
untuk memenangkan tujuannya dengan gaya ini satu pihak berusaha sekuat
tenaga untuk memenangkan tujuannya dan, akibatnya, sering mengabaikan
kebutuhan dan harapan pihak lain.
- Menghindari (Avoiding) melibatkan
perhatian yang rendah terhadap diri sendiri dan orang lain sehingga
cenderung menarik diri terhadap situasi yang ada.
- Kompromi (Compromising) melibatkan
pendekatan dengan saling memberi-dan-menerima (give and take) di
mana kedua belah pihak saling berkorban untuk membuat keputusan bersama
Tujuan
dari manajemen konflik, baik yang dilakukan secara langsung oleh pihak yang
berkonflik maupun melibatkan pihak ketiga, adalah untuk mempengaruhi seluruh
struktur situasi konflik yang dalam prosesnya mengandung hal-hal destruktif (seperti
penggunaakan kekerasan atau permusuhan) dan membantu pihak-pihak berkonflik
untuk menemukan solusi atas konflik yang terjadi. Bercovitch dan Diehl
dalam tulisannya yang berjudul Conflict and Conflict Management in
Organizations: A Framework for Analysis mengatakan bahwa manajemen
konflik dapat dikatakan berhasil secara efektif apabila: 1) dapat meminimalisir
gangguan atau kesurakan dari konflik yang terjadi; (2) memberikan solusi yang
memuaskan dan dapat diterima oleh pihak yang berkonflik.
4.2
Landasan Teologis koorporatif dan konflik dalam pendidikan
Kerjasama dalam Islam
dibolehkan oleh para ulama. Islam juga mengalakkan kerjasama dalam berbagai
bentuk usaha kebajikan dan juga sebaliknya menolak usahausaha yang dapat
mendatangkan kemudhoratan untuk diri sendiri dan untuk orang banyak. Kerjasama
dapat dilakukan dalam berbagai bidang, baik bidang olahraga, kesenian, politik,
keamanan, perdagangan, dan juga dalam bidang pendidikan. Dalam al-quran banyak sekali
dalil yang menerangkan tentang pentingnya kerjasama dengan ketentuan kerjasama
dalam hal kebajikan. Salah satu bentuk dalil yang dapat kita lihat yaitu dalam
Al Qur‟an Surah Al-Maidah ayat : 2
Artinya : Wahai orang-orang
yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan
(melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu
(hewan-hewan kurban) dan qala'id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka
mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan
ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu
kaum karena mereka
menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas
(kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.
Dari
ayat di atas terlihat jelas bahwa kita diperintahkan untuk melakukan tolong
monolong atau kerjasama dalam hal kebajikan dan dapat pula dipahami dalam
konteks umum, umum dari segi sasarannya dan umum dari segi jenis kebaikan yang
dituntutnya. Baik dalam meningkatkan kualitas diri, kualitas hidup, ataupun
kualitas pendidikan. Selain Ayat di atas, banyak pula dalil dari hadis
berkaitan dengan kerjasama salah satunya adalah hadits yang menyebutkan tentang
perintah menolong siapapun, baik yang terzhalimi maupun yang menzhalimi.
Rasulullah saw bersabda, “Tolonglah saudaramu yang menzhalimi dan yang
terzhalimi”. Maka para sahabat bertanya, “Menolong yang terzhalimi memang kami
lakukan, tapi bagaimana menolong orang yang berbuat zhalim?”. Rasulullah
menjawab, “Mencegahnya dari terus menerus melakukan kezhaliman itu berarti
engkau telah menolongnya”. (Bukhari dan Ahmad).
Manusia
digambarkan dalam Al-Quran selalu melakukan pertikaian, baik pertikaian antar
personal, keluarga, dan sosial. Al-Quran menggambarkan konflik sosial dalam dua
bentuk, yaitu bentuk potensial dan bentuk aktual. Dalam sebuah konflik mungkin
ada beberapa alasan kedua pihak yang terlibat tidak cukup mampu untuk keluar
dari apa yang mereka perselisihkan, karena mereka tidak cukup rasional, oleh
karenanya membutuhkan pihak diluarnya. Pihak luar atau pihak ketiga
kehadirannya sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik agar konflik dapat
dikelola dan dihindari dari tindak diskriminasi, kekerasan, dan lainnya.
Sebagaimana Al-Quran menegaskan untuk menghadirkan pihak ketiga.
Juru
damai adalah pihak ketiga atau orang yang tidak terlibat dalam pertikaian dan
memiliki tujuan untuk mendamaikan. Bukan hanya dalam konflik keluarga, tapi
AlQuran Surat Al Hujurat (49) ayat 9, juga menegaskan agar penggunaan pihak
ketiga diterapkan dalam konflik sosial,
“Dan apabila ada dua golongan orang
mukmin berperang, maka damaikanlah antar keduanya. Jika salah satu dari
keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah
perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah),
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh,
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. (49), 9).
Ayat ini, memberikan penjelasan pada pihak
ketiga, apabila melihat pertikaian wajib memberikan penengahan untuk mewujudkan
perdamaian diantara mereka. Dalam perkembangan ilmu resolusi konflik pihak
ketiga yang memberikan perdamaian atau penengahan diantara pihak yang
berkonflik sering disebut dengan sistem mediasi dan Al-Quran sering mengkiaskan
dengan kata hakam. Mediasi atau hakam dalam setiap terjadinya konflik
keberadaanya sering dibutuhkan agar perdamaian dapat terwujud. Semangat
Al-Quran yang telah memberikan obat bagi “konflik‟
sangatlah relevan di jaman modern melihat setiap orang yang terlibat konflik
mengharapkan penyelesaian yang adil (win-win solution), dan keadilan itu di
dapat bukan dari mereka yang berkonflik tapi butuh kekuatan diluar mereka yang
mampu menjadi hakam atau mediator.
4.3
Landasan Filosofis koorporatif dan konflik dalam pendidikan
Pembahasan
Cooperative dan Conflict dalam perspektif filsafat ini, kelompok kami mencoba
memaparkan pemikiran dari Filsafat Realisme. Pengertian Filsafat Realisme ialah
pandangan bahwa objek-objek indera adalah real dan berada sendiri tanpa di
sandarkan, tanpa pengetahuan lain atau kesadaran akal. Realisme merupakan salah
satu pemikiran aliran klasik yang di sandarkan kepada aries toteles yang
memandang dunia dalam tema material. Realisme berpandangan bahwa hakikat
realitas ialah fisik dan juga ruh yang bersifat hal fisik dan rohani
(dualitas). Pengetahuan di dalam dunia kepemimpinan tidak hanya terletak pada
objek saja tetapi juga pada subjeknya.
Pada
prinsipnya realisme memandang hakikat wujud/nyata/realitas terdiri atas dunia
fisik dan rohani (dualitas). Realisme di dalam dunia pendidikan memiliki
prinsip dan tujuan untuk memberikan perhatian kepada seorang pemimpin yang apa
adanya, untuk menyesuaikan hidup dan tanggung jawab sosial seorang pemipin. Realisme
sendiri memiliki memiliki tujuan didalam pendidikan yaitu dengan mengembangkan
kemampuan intelektual, dan ingin memfokuskan pendidikan pada pencarian
kebenaran melalui persamaan terhadap dunia fisik atau informasi yang
berubah-ubah. Agar dapat mengatasi situasi terkini dengan membekali kemampuan
agar dapat memecahkan masalah yang ada saat ini. Implikasi cooperative and
conflict dalam pendidikan, yakni bahwa setiap manusia memiliki identitas
tersendiri dan memiliki bakat tersendiri yang sudah di tentukan.
Beberapa
tokoh Aliran Realisme, yakni :
a.
Johan Amos memiliki pemikiran tokoh terhadap
pendidikan, dan dapat di golongkan pada realisme religius yaitu tentang manusia
harus berusaha untuk mencapai dua tujuan antara keselamatan dan kebahagiaan,
dan juga keadaan kehidupan yang sejahtera. °
b.
Francis Bacon sesuai
dengan dasar filosofis realisme bahwa kebenaran ada pada obejk yang bisa diukur
dan di uji. Semua kebenaran harus di ketahui secara pasti dan di simpulkan, di
bandingkan, dipakai sebagai satu-satu dasar bagi suatu kesimpulan atau
pengetahuan.
c.
John Locke memaparkan
kebenaran bersifat metafisik dan universal ialah bahwa metafisik adalah cabang
filsafat yang membahas tentang permasalahan yang sebagai sesuatu yang ada dan
universal artinya umum. Seperti konsep kemanusiaan adalah konsep yang di
percayai.
Selain itu, filosofi konflik, kelompok kami
mencoba menggali tentang pemimikiran Amy Gallo. Bagi Amy Gallo perbedaan tidak
otomatis menghasilkan sesuatu yang positif. Perbedaan pandangan atas sesuatu hal
seringkali berujung pada konflik, baik dalam bentuk konfrontasi langsung,
ataupun pasif dalam bentuk keenggenan berkomunikasi. Apapun bentuknya perbedaan
atau bahkan konflik pandangan tanpa tata kelola yang tepat tidaklah produktif,
dan justru bisa menghancurkan. Yang kita butuhkan adalah kemampuan untuk
mengelola konflik, menemukan titik pandang yang kiranya bisa disepakati oleh
semua pihak yang berbeda dan
kemudian menjadikan perbedaan sebagai sumber yang memperkaya kehidupan, begitu
pendapat Gallo.
4.4
Landasan Psikologis koorporatif dan konflik dalam pendidikan
Definini
konflik adalah kondisi munculnya dua kebutuhan atau lebih pada waktu yang
bersamaan. Menurut Lewin (dalam Akmal, 2016)20 menyatakan bahwa seseorang
berada di bawah tekanan dalam merespon perubahan-perubahan yang disebut
lokomosi pada lapangan kehidupannya, akan terdapat vektor-vektor yang saling
bertolak belakang serta tarik-menarik. Oleh karenanya, seseorang pada lapangan
psikologi tertentu akan mengalami tekanan batin maupun konflik yang selalu
diiringi dengan motif. Konflik terjadi karena seseorang berada di bawah tekanan
untuk merespon daya-daya tersebut secara simultan. Bila dua motif saling
bertentangan, kepuasan motif yang satu akan menimbulkan frustasi pada motif
lain.
Konflik
merupakan kondisi dalam lapangan kehidupan individu dengan adanya kekuatan
saling bertentangan arah namun mempunyai porsi kekuatan yang sama. Seiring
perkembangan cooperative dan conflict dalam mengupas perlu dipahami konsep
kehidupan. Teori lapang mengutamakan keseluruhan studinya mengenai jiwa
manusia. Hal yang penting pada teori ini adalah lapangan, di dalam psikologi
diartikan sebagai lapangan kehidupan. Lapangan kehidupan seseorang
mempertimbangkan banyak hal mengenai dirinya sendiri.
1.
Konflik Internal Konflik
internal adalah konflik yang terjadi dalam hati dan jiwa individu. Konflik
internal merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri yang
bisa disebut konflik batin atau konflik kejiwaan. Konflik jiwa dialami setelah
ada pertentangan atau gangguan batin seseorang. Konflik batin yang terus menerut
terjadi menyebabkan
individu, watak, dan pemikiran yang menyimpang.
2.
Konflik Eksternal Konflik
eksternal adalah konflik yang terjadi antara individu dengan sesuatu yang di
luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam atau dengan lingkungan manusia.
Menurut Jones (dalam Gerungan, 2010) konflik eksternal dibedakan menjadi dua,
yakni konflik fisik dan konflik sosial. Konflik fisik merupakan konflik yang
disebabkan adanya pembenturan antara tokoh dengan lingkungan alam.
Menurut
pendapat dari Megginson, Mosley, Poeitri, dapat disimpulkan bahwa kecenderungan
penyelesaian konflik digolongkan menjadi tiga strategi dasar, yaitu :
1.
Paradigma lose-lose (kalah-kalah), dengan cara menghindar, kompromi,
memanfaatkan pihak ketiga diluar konflik, dan menggunakan dasar peraturan yang
ada untuk menyelesaikan konflik.
2.
Paradigma win-lose (menang-kalah), dengan cara mengalahkan pihak lain atau
kompetitif dan penyesuaian diri sehingga muncul pertengkaran dan dendam.
3.
Paradigma win-win (menang-menang), dengan cara berkolaborasi dan bermusyawarah
untuk menyelesaikan konflik.
4.5
Landasan Sosiologis koorporatif dan konflik dalam pendidikan
Beberapa
sosiolog menganggap bahwa kerja sama merupakan bentuk interaksi sosial yang
pokok. Sosiolog lain menganggap bahwa kerja sama merupakan proses utama.
Golongan terakhir tersebut memahamkan kerja sama untuk menggambarkan sebagian
besar bentuk-bentuk interaksi sosial atas dasar bahwa segala macam bentuk
inetarksi tersebut dapat dikembalikan kepada kerja sama. Kerja sama di sini
dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok
manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama.
Bentuk
dan pola-pola kerja sama dapat dijumpai pada semua kelompok manusia.
Kebiasaan-kebiasaan dan sikap-sikap demikian dimulai sejak masa kanak-kanak di
dalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan. Bentuk kerja sama
tersebut berkembang apabila orang dapat digerakkan untuk mencapai suatu tujuan
bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari
mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam
pembagian kerja srta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan
selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja
sama, agar rencana kerja samanya dapat terleksana dengan baik. Kerja sama
timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya (ingroup-nya) dan
kelompok lainnya (out-group-nya).
Kerja
sama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya luar yang mengancam atau
ada tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional
atau institusional telah tertanam
di dalam kelompok, dalam diri seseorang atau segolongan orang. Kerja sama dapat
bersifat agresif apabila kelompok dalam jangka waktu yang lama mengalami
kekecewaan sebagai akibat perasaan tidak puas, karena keinginan-keinginan
pokoknya tak dapat terpenuhi oleh karena adanya rintangan-rintangan yang
bersumber dari luar kelompok itu.
BAB V KESIMPULAN DAN
SARAN
5.1 Kesimpulan
Kooperatif dan konflik dalam kepemimpinan
pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. kemajuan
teknologi baru, persaingan ketat, perbedaan kebudayaan dan sistem nilai, serta
berbagai macam kepribadian individu, akibat banyaknya orang yang
menggunakan lidahnya secara bebas tanpa didasari oleh pertimbangan moral, nilai
dan agama, merupakan penyebab kecenderungan terjadinya konflik yang
berpotensi melahirkan pertentangan dan perselisihan serta dapat menimbulkan
situasi yang buruk dalam berbagai lingkungan baik keluarga, sekolah, maupun
masyarakat. sehingga diperlukan manajemen konflik dan kepemimpinan yang
berwibawa, jujur dan dapat dipercaya sebagai penetralisir atau penengah
diantara pihak-pihak yang berkonflik,,sekaligus sebagai sarana untuk menyatukan
berbagai hal yang saling bertentangan untuk membebaskan kehidupan manusia dari
kepentingan individual dan dari kejelekan-kejelekan, sehingga kemudian mereka
dapat dibawa menuju ke jalan yang terang. Manajemen konflik dalam dunia
pendidikan pada dasarnya merupakan seperangkat cara mengelola seluruh konflik
yang dihadapi oleh pengelola pendidikan yang dilakukan secara konsisten dan
seragam, dimaksudkan untuk menilai, mengendalikan, mendanai, dan memanfaatkan
seluruh konflik yang ada untuk meningkatkan nilai organisasi untuk kepentingan
pihak yang berkepentingan (stakeholder).
Kerjasama
adalah merupakan usaha bersama dari dua orang atau lebih untuk melaksanakan
tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Biasanya, kerjasama
melibatkan pembagian tugas, dimana setiap orang mengerjakan setiap pekerjaan
yang merupakan tanggung jawabnya demi tercapainya tujuan bersama. Sedangkan,
Konflik juga diartikan sebagai pertentangan antar banyak kepentingan, nilai,
tindakan atau arah serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan
ada. Konflik merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat dihindarkan dalam
kehidupan organisasi, bahkan konflik selalu hadir dalam setiap hubungan
kerjasama antar individu, kelompok maupun organisasi
Kesimpulan dari bab sebelumnya adalah bahwa kooperatif dan konflik dalam pendidikan
adalah kerja sama dan perselisihan dalam proses pendidikan yang dengan:
(1) berbasis agama berarti berpedoman pada
ajaran Tuhan yang menghendaki kebaikan, dimana kerja sama dijalin dalam
kebajikan dan ketakwaan, tenaga, orang terdekat, perdamaian, sabar dan shalat,
kemaslahatan materi dan immateri, sedangkan konflik ditangani dengan cara musyawarah
dan tahkim (arbitrase).;
(2) berbasis filsafat berarti berpedoman pada
pengetahuan semesta dan makna kehidupan yang menghendaki rekonstruksi, yang
dilakukan dengan cara demokrasi atau konsensus;
(3)
berbasis psikologi berarti berpedoman pada ilmu pikiran dan tingkah laku yang
islami, yang ditangani melalui metode keyakinan, rasional, integrasi metode
keyakinan dan rasional, dan otoritas; dan
(4)
berbasis sosiologi berarti berpedoman pada ilmu sosial sebagai kompleksitas
sistem sosial, melalui pendekatan kualitatif (metode historis, komparatif, dan
studi kasus) dan pendekatan kuantitatif (metode deduktif, induktif, empiris,
rasional, dan fungsional).
5.2 Saran
Kepada
para para pemangku kepentingan pendidikan seperti pemegang kebijakan
pendidikan, praktisi pendidikan, peneliti pendidikan, dan expert judgment
lainnya diharapkan mampu menjalin kerja sama dan mengelola konflik
sebaikbaiknya, baik internal maupun eksternal, berpedoman pada prinsip-prinsip
yang kokoh dalam agama, filsafat, psikologi, dan sosiologi, dengan tetap
mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.